Jumat, 22 Maret 2024

Pasal 14 & Pasal 15 UU No. 1/1946 dan Pasal 310 KUHP Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat



 Pada tanggal 27 Juli 2023 yang lalu, Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanti, YLBHI, AJI, mengajukan pengujian Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1/1946, Pasal 310 ayat (1) KUHP, dan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU No. 19/2016 ke Mahkamah Konstitusi. Hampir kurang lebih setengah tahun lamanya, persidangan perkara tersebut berlangsung, akhirnya pada tanggal 21 Maret 2024 Mahkamah Konstitusi memutus perkara dengan registrasi No.  78/PUU-XXI/2023.

Sebelum perkara ini diajukan, ternyata sudah ada beberapa perkara yang diajukan sebelumnya, yaitu No. 14/PUU-VI/2008, No. 50/PUU-VI/2008, No. 2/PUU-VII/2009, No. 1/PUU-IX/2011, No. 1/PUU-XIII/2015, No. 74/PUU-XIV/2016, dan No. 33/PUU-XVIII/2020. 

Berdasarkan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan MK 2/2021, terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undangg yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali. Namun, setelah dicermati dengan seksama, permohonan dari Haris Azhar dkk ternyata dasar pengujian yang digunakan berbeda yaitu Pasal 27 ayat (3), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), ayat (5), dan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.  Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan Haris Azhar dkk dengan permohonan-permohonan yang telah diputus oleh MK sebelumnya, antara lain, yang membedakan karena dalam perkara a quo pada pokoknya Haris Azhar dkk menguraikan mengenai pembatasan kebebasan untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan serta mengolah dan menyampaikan informasi, sehingga pasal yang diuji menurut Haris Azhar dkk secara bersyarat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara dalam permohonan sebelumnya yakni antara lain permohonan Nomor 33/PUUXVIII/2020, Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian yakni Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Begitupula dengan permohonan Nomor 14/PUU-VI/2008, Pemohon pada pokoknya hanya mendalilkan sanksi pidana dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP bertentangan dengan kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, mengeluarkan pendapat dan berkomunikasi. Dengan demikian, menurut Mahkamah, terdapat perbedaan dasar pengujian dan alasan yang digunakan dalam permohonan Haris Azhar dkk dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana ketentuan Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 PMK 2/2021, sehingga permohonan Haris Azhar dkk dapat diajukan kembali.

Dalam pertimbangannya, MK menilai adanya sifat "ambiguitas" berkaitan dengan unsur "berita atau pemberitahuan bohong" dan "kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berlebihan" yang terdapat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, yang dikarenakan sulitnya menentukan ukuran atau parameter akan “kebenaran“ sesuatu hal yang disampaikan oleh masyarakat yang disebabkan adanya perbedaan ukuran yang dipergunakan untuk menjadi dasar pembenaran akan sesuatu hal yang disampaikan tersebut. Adanya ketidakjelasan ukuran atau parameter demikian dapat menjadi benih atau embrio bahwa seseorang yang menyampaikan sesuatu hal tersebut telah melakukan perbuatan yang berkaitan dengan penyampaian berita atau pemberitahuan bohong. Terlebih, jika seseorang akan menyampaikan pendapat atau pikiran, penilaian akan “kebenaran” dan “kabar yang berkelebihan” atas hal yang disampaikan sangat tergantung penilaian oleh subjek hukum yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, misalnya dari sudut pandang nilai-nilai agama, budaya dan sosial. Oleh karena itu, apabila ukuran atau parameter dalam mengeluarkan pendapat ataupun pikiran yang hanya memperbolehkan menyampaikan sesuatu yang dianggap “benar” saja (tidak bohong) dan tidak berkelebihan yang tidak jelas ukuran atau parameternya baik hal tersebut dilakukan di tempat umum maupun di ranah pribadi, maka hal demikian justru dapat menimbulkan pembatasan terhadap hak setiap orang untuk berkreativitas dalam berpikir guna menemukan kebenaran itu sendiri. Dengan demikian, masyarakat tidak lagi memiliki kebebasan untuk berpendapat sebagai bentuk partisipasi publik dalam kehidupan berdemokrasi, karena pada hakikatnya keputusan demokratis yang diambil oleh negara membutuhkan pendapat dan informasi dari warga negara. Oleh karena itu, negara tidak boleh mengurangi kebebasan berpendapat dengan ketentuan atau syarat yang bersifat absolut bahwa yang disampaikan tersebut adalah sesuatu yang benar atau tidak bohong. Artinya, negara memberikan ruang kepada warga negara untuk mengaktualisasikan dirinya secara bebas dalam memberikan pendapatnya atau menyumbangkan pikirannya kepada negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.

Dengan demikian unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 menurut Mahkamah merupakan norma yang mengandung pembatasan untuk mengeluarkan pendapat secara merdeka di ruang publik yang berpotensi dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk memidana pelaku yang melakukan perbuatan menyebarkan berita bohong tanpa sungguh-sungguh mengidentifikasi perbuatan pelaku merupakan bentuk kesengajaan dalam perspektif memberikan masukan atau kritik yang bersifat konstruktif yang seharusnya menjadi tugas negara untuk mempertimbangkan hal tersebut sebagai bentuk kebebasan menyampaikan pendapat atau kebebasan berekspresi, bukan justru yang ditekankan adalah penilaian terhadap adanya “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan” dan menindak pelakunya untuk dikriminalisasi. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan” yang termuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 dapat menjadi pemicu terhadap sifat norma pasal-pasal a quo menjadi “pasal karet” (mulur mungkret) yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum. Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud “pasal karet” adalah pasal dalam undang-undang yang tidak jelas tolok ukurnya. Terlebih, dalam perkembangan teknologi informasi seperti saat ini yang memudahkan masyarakat dalam mengakses jaringan teknologi informasi, di mana masyarakat dapat memperoleh informasi dengan mudah dan cepat yang acapkali tanpa diketahui apakah berita yang diperoleh adalah berita bohong atau berita benar dan berita yang berkelebihan, sehingga berita dimaksud tersebar dengan cepat kepada masyarakat luas yang hal demikian dapat berakibat dikenakannya sanksi pidana kepada pelaku dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut. 

Selanjutnya berkenaan dengan unsur “onar atau keonaran” yang termuat dalam Pasal 14 UU 1/1946 jika dicermati pada bagian Penjelasannya, keonaran diartikan lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Dari unsur “onar atau keonaran” yang termuat dalam Pasal 14 UU 1/1946 dan Penjelasannya, menurut Mahkamah jika dicermati terdapat ketidakjelasan terkait ukuran atau paramater yang menjadi batas bahaya. Artinya, apakah keonaran tersebut juga dapat diartikan sebagai kerusuhan yang membahayakan negara. Dalam KBBI, kata dasar keonaran adalah onar, yang memiliki beberapa arti, yakni kegemparan, kerusuhan, dan keributan. Oleh karena itu, dari telaahan makna kata onar atau keonaran dalam KBBI dimaksud, makna kata keonaran adalah bersifat tidak tunggal. Oleh karena itu, penggunaan kata keonaran dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 berpotensi menimbulkan multitafsir, karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda, demikian pula akibat yang ditimbulkan. Dengan demikian, terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat dengan tindak pidana. Di samping itu, jika hal ini dikaitkan dengan hak kebebasan untuk berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945, meskipun sesungguhnya bertujuan memberikan masukan atau kritik kepada penguasa sekalipun, hak-hak tersebut akan terancam aktualisasinya. Sebab, yang dapat atau mungkin terjadi adalah justru penilaian yang bersifat subjektif dan berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan. Terlebih, dengan tidak adanya ketidakjelasan makna ”keonaran” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut, seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada, sehingga hal tersebut menyebabkan masyarakat menjadi tidak dapat secara bebas mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945, yaitu hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Selain itu, unsur ”onar atau keonaran” yang termuat dalam Pasal 14 UU 1/1946, menurut Mahkamah sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi yang saat ini berkembang dengan pesat, di mana masyarakat sudah memiliki akses yang luas dan mudah terhadap informasi melalui berbagai media, khususnya media sosial. Sehingga dinamika yang terjadi dalam mengeluarkan pendapat dan kritik berkenaan dengan kebijakan pemerintah di ruang publik, hal tersebut sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari partisipasi publik yang bukan serta merta dapat dianggap sebagai unsur yang menjadi penyebab keonaran dan dapat dikenakan tindakan oleh aparat penegak hukum. Dengan kata lain, jika ada seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan kepada masyarakat melalui media apapun meskipun berita atau pemberitahuan tersebut masih diragukan kebenarannya, kemudian berita atau pemberitahuan tersebut menimbulkan diskursus di ruang publik, maka seharusnya diskusi tersebut tidaklah serta merta merupakan bentuk keonaran di masyarakat yang langsung dapat diancam dengan hukuman pidana. 

Berkenaan dengan unsur “kabar yang tidak pasti”, atau “kabar yang berkelebihan” atau “yang tidak lengkap” yang terdapat dalam Pasal 15 UU 1/1946, menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 15 UU 1/1946 pada pokoknya menjelaskan berkenaan dengan Pasal ini mengenai "kabar angin" (kabar yang tidak pasti) dan kabar yang disiarkan dengan tambahan atau dikurangi. Dengan memerhatikan dan mencermati kandungan yang terdapat dalam Pasal 15 UU 1/1946 beserta Penjelasannya, menurut Mahkamah unsur “kabar tidak lengkap atau berkelebihan” adalah sulit ditentukan batasan atau parameternya, karena unsur “kabar tidak lengkap atau berkelebihan” dapat dikatakan sebagai data/informasi yang tidak valid dan tidak reliable atau data yang validitas dan reliabilitasnya rendah, sehingga Pasal 15 UU 1/1946 hampir dapat dipastikan sama dengan pemaknaan unsur “pemberitahuan bohong” sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU 1/1946. Di samping itu, berkaitan dengan unsur “kabar yang berkelebihan” sebagaimana telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum sebelumnya, oleh karena dengan adanya pengulangan penerapan unsur “pemberitahuan bohong” yang esensinya sebenarnya sama antara unsur “kabar yang berkelebihan” dengan unsur “pemberitahuan bohong” hal tersebut mengakibatkan adanya tumpang tindih (overlapping) dalam pengaturan norma Pasal 15 UU 1/1946 yang dapat menjadikan norma dimaksud mengandung sifat ambigu. Terlebih, Penjelasan pasal a quo tidak menguraikan secara jelas gradasi atau tingkat keakuratan yang dimaksud sehingga hal ini bertentangan dengan asas yang berlaku dalam perumusan norma hukum pidana, yaitu harus dibuat secara tertulis (lex scripta), jelas (lex certa), dan tegas tanpa ada analogi (lex stricta). Dengan demikian, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum Mahkamah terkait dengan unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dalam Pasal 14 UU 1/1946 mutatis mutandis menjadi pertimbangan hukum Mahkamah terkait dengan pertimbangan unsur “kabar yang tidak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” dalam Pasal 15 UU 1/1946. 

Menurut Mahkamah, dengan adanya rumusan norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 yang luas dan tidak jelas sehingga dapat diartikan secara tidak terbatas dan beragam, telah menyebabkan Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara. Dengan demikian, dalil Haris Azhar dkk berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 adalah beralasan menurut hukum.

Terkait inkonstitusionalitas norma Pasal 310 ayat (1) KUHP yang menurut Haris Azhar dkk pada pokoknya Pasal a quo merupakan norma sangat subyektif dan tidak proporsional karena tidak terdapat batasan-batasan yang jelas mengenai ukuran objektif terkait dengan pencemaran kehormatan atau nama baik yang dapat dipidana, sehingga bertentangan dengan kepastian hukum yang adil. Terhadap dalil  Haris Azhar dkk tersebut, MK mengutip pertimbangan dalam putusan terdahulu yaitu putusan No. 14/PUU-VI/2008 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 15 Agustus 2008. Setelah MK mencermati pertimbangan terdahulu berkenaan dengan Pasal 310 ayat (1) KUHP telah diakomodir di dalam Pasal 433 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut UU 1/2023).

 Setelah dicermati materi muatan dari ketentuan Pasal 433 UU 1/2023, menurut Mahkamah, terdapat perbedaan antara ketentuan norma dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP dengan norma Pasal 433 UU 1/2023 yakni dalam Pasal 433 UU 1/2023 terdapat penegasan pelaku melakukan perbuatan pencemaran mencakup perbuatan “dengan lisan” dimana unsur tersebut tidak diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP. Oleh karena itu, tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas Pasal 433 UU 1/2023 yang baru mempunyai kekuatan mengikat setelah tiga tahun sejak diundangkan (2 Januari 2026), maka penegasan berkenaan dengan unsur perbuatan “dengan lisan” yang terdapat dalam Pasal 433 UU 1/2023 bisa diadopsi atau diakomodir guna kepastian hukum dalam penerapan ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP. Dengan demikian, norma Pasal 310 ayat (1) KUHP dimaksud dapat memberikan kepastian hukum dan mempunyai jangkauan kesetaraan yang dapat mengurangi potensi adanya perbedaan perlakuan atau diskriminasi terhadap addresat norm atas ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP, sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan ambiguitas. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat, sebagaimana yang selengkapnya akan dinyatakan dalam amar putusan perkara a quo. Namun, oleh karena kesimpulan Mahkamah a quo bukan sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, oleh karena itu dalil para Pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 310 ayat (1) KUHP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. 

YANG DAPAT DILAKUKAN KREDITUR APABILA ASET DEBITUR SUDAH DIJAMINKAN KE BANK

Hukum perdata mengenal tiga jenis kreditur, yaitu : Kreditur Separatis; Kreditur Preferen; dan Kreditur Konkuren. Kreditur Separatis adala...