Mengutip laman id.quora.com, pemimpin negara yang pertama kali tercatat dimakzulkan adalah presiden Amerika Serikat, Andrew Johnson, yang dimakzulkan pada tahun 1868. Pihak DPR Amerika Serikat kala itu mengeluarkan 11 artikel dakwaan pemakzulan terhadap Presiden Andrew Johnson, Sembilan di antaranya mengutip tentang pencopotan Sekretaris Perang Edwin M. Stanton, serta pelanggaran terhadap Tenure of Act (adalah hukum federal Amerika Serikat yang berlaku dari 1867 hingga 1887, yang mana dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan presiden untuk memberhentikan pemegang jabatan tertentu tanpa persetujuan Senat).
Setidaknya dalam 7
tahun terakhir, sudah terjadi beberapa pemakzulan terhadap kepala negara di
dunia, diantaranya :
1.
Brazil, pemakzulan Dilma
Rousseff pada tanggal 17 April 2016.
2.
Korea Selatan, pemakzulan presiden
Park Geun-hye pada tanggal 10 Maret 2017.
3. Peru, dua kali melakukan
pemakzulan presiden Pedro Pablo Kuczynski pada tahun 2017 dan 2018. Presiden
Peru selanjutnya adalah Martin Vizcarra pada tanggal 9 Nopember 2020.
4.
Amerika Serikat, pemakzulan dua
kali presiden Donald Trump dan keduanya gagal.
Bagaimana yang
terjadi di Indonesia?
Pemakzulan presiden
di Indonesia secara rinci baru ada setelah amandemen UUD 1945. Sebelumnya,
proses pemakzulan presiden lebih mengedepankan proses politik dibandingkan
dengan proses hukum. Hal ini dapat dilihat bagaimana proses pemakzulan presiden
Soekarno dan presiden Abdurrahman Wahid yang tidak ada proses peradilan sama
sekali.
Pemakzulan sendiri
merupakan bagian dari fungsi pengawasan tertinggi yang dimiliki oleh Lembaga perwakilan
sebagai salah satu bentuk proses checks and balances.
UUD 1945 setelah
amandemen, mengatur tentang pemakzulan pada Pasal 7A dan Pasal 7B.
Di Pasal 7A,
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, jika terbukti
:
1.
Telah melakukan pelangggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara;
2.
Korupsi;
3.
Penyuapan;
4.
Tindak pidana berat lainnya;
5.
Perbuatan tercela; atau
6.
apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 21 tahun 2009, disebutkan mengenai kualifikasi
pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Kualifikasi tindak pidana berat lainnya
adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih. Sedangkan untuk kualifikasi tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD
1945 dan Undang-Undang yang terkait.
Mekanisme pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan melalui usul Dewan Perwakilan
Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terlebih dahulu DPR
mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran sebagaiman disebut dalam Pasal 7A tersebut.
DPR hanya dapat
mengajukan permintaan ke Mahkamah Konstitusi apabila mendapat dukungan
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang
paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
Mahkamah Konstitusi
wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat
DPR tersebut paling lama 90 (Sembilan puluh) hari setelah permintaan DPR
diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
Apabila terbukti Presiden
dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum sebagaimana Pasal 7A, DPR
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
MPR wajib
menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak MPR menerima usul tersebut.
Keputusan MPR atas
usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat
paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.