1.
Sengketa
Proses Pemilu (Pasal 471)
Meliputi
sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota
DPR, DPD, DPRD Propinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon peserta
pemilu, atau bakal pasangan calon dengan KPU, KPU Propinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU
Propinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.
a. KPU dan Partai Politik calon peserta
pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU
tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu.
b. KPU dan Pasangan Calon yang tidak
lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan
Pasangan Calon sebagaimana dimaksud Pasal 235.
c. KPU, KPU Propinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi, DPRD
Kabupaten/Kota yang dicoret dari daftar calon tetap sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Daftar Calon Tetap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 256 dan Pasal 266.
Pengajuan gugatan atas sengketa tata
usaha negara Pemilu dilakukan setelah Upaya administrative di Bawaslu telah
digunakan. Pengajuan gugatannya dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja
setelah dibacakan putusan Bawaslu.
Dalam mengajukan gugatan atas
sengketa tata usaha negara Pemilu dapat diperbaiki dan dilengkapi apabila
gugatan tersebut dianggap kurang lengkap, paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak
diterimanya gugatan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Apabila dalam tenggang
waktu 3 (tiga) hari kerja Penggugat belum menyempurnakan gugatan, hakim
memberikan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. Putusan tersebut tidak
dapat dilakukan Upaya hukum.
Pengadilan Tata Usaha Negara
memeriksa dan memutus gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilu paling
lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak gugatan dinyatakan lengkap.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan Upaya hukum lain.
KPU wajib menindaklanjuti putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara paling lama 3 (tiga) hari kerja.
2.
Perselisihan
hasil Pemilu (Pasal 473)
Meliputi
:
a. perselisihan antara KPU dan peserta
pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional.
b. Perselisihan penetapan perolehan
suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional meliputi
perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi
peserta pemilu.
c. Perselisihan penetapan perolehan suara
hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara nasional meliputi perselisihan
penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi penetapan hasil pemilu Presiden
dan Wakil Presiden.
Peserta pemilu dapat mengajukan
permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU
kepada Mahkamah Konstitusi. Pengajuan tersebut diajukan paling lama 3 x 24
(tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil
Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional oleh KPU.
Apabila pengajuan permohonan belum
lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24
(tiga kali dua puluh empat) jam sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah
Konstitusi.
KPU, KPU Propinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan MK.
Apabila terjadi perselisihan
penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pasangan
calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling
lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
oleh KPU. Keberatan tersebut hanya terhadap hasil penghitungan suara yang
mempengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih Kembali
pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
MK memutus perselisihan yang timbul akibat
keberatan paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan
keberatan oleh MK.
Hasil putusan MK wajid
ditindaklanjuti oleh KPU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar