Selasa, 07 Mei 2024

YANG DAPAT DILAKUKAN KREDITUR APABILA ASET DEBITUR SUDAH DIJAMINKAN KE BANK




Hukum perdata mengenal tiga jenis kreditur, yaitu : Kreditur Separatis; Kreditur Preferen; dan Kreditur Konkuren.

Kreditur Separatis adalah kreditur pemegang jaminan kebendaan. Diatur dalam Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata. Saat ini jaminan kebendaan yang diatur di Indonesia adalah :

  1. Gadai (Pasal 1150 – Pasal 1160 KUH Perdata).
  2. Fidusia (UU No. 42 tahun 1999 ttg Jaminan Fidusia).
  3. Hak Tanggungan (UU No. 4 tahun 1996 ttg Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah).
  4. Hipotik Kapal (Pasal 1162 – Pasal 1232 KUH Perdata).
  5. Resi Gudang (UU No. 9 tahun 2006 ttg Sistem Resi Gudang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2011)

Kreditur Preferen adalah kreditur yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditur Preferen terdiri dari Kreditur preferen khusus (Pasal 1139 KUH Perdata), dan Kreditur Preferen Umum (Pasal 1149 KUH Perdata).

Kreditur Konkuren adalah kreditur yang tidak termasuk dalam Kreditur Separatis dan Kreditur Preferen (Pasal 1131 – Pasal 1132 KUH Perdata).

Jika kita sudah tahu macam dan jenis kreditur menurut KUH Perdata, langkah selanjutnya adalah menentukan upaya hukum yang akan ditempuh. Bisa dengan non litigasi atau litigasi dengan menggugat debitur di Pengadilan Negeri setempat.

Sesuai dengan tema judul di atas, alangkah baiknya seorang kreditur menempuh upaya hukum litigasi yaitu dengan menggugat debitur di Pengadilan Negeri dimana debitur berada atau bertempat tinggal. Alasannya adalah adanya kepastian hukum dan tidak berlarut-larut.

Dalam gugatannya kreditur dapat meminta kepada Pengadilan Negeri untuk meletakkan sita penyesuaian. Mengutip tulisan dari M. Yahya Harahap bahwa barang yang telah disita, tidak boleh disita lagi, sebagai gantinya diletakkan sita penyesuaian. Demi kelancaran dan kepastian penegakan hukum mengenai penyitaan, Pasal 463 Rv dianggap perlu dijadikan prinsip agar tidak terjadi penyitaan yang tumpang tindih. Antara lain ditegaskan dalam Putusan MA No. 1829 K/Pdt/1992 yang menegaskan praktek peradilan sudah lama mengambil asas vergelijkende beslag yang diatur dalam Pasal 463 Rv sebagai prinsip atau sistem beracara.

Kedudukan hukum pemegang sita penyesuaian terhadap barang yang disita atau diagunkan kepada pihak lain adalah :

  1. Berada setingkat di bawah pemegang sita jaminan (kreditur separatis).
  2. Pengambilan pemenuhan atas pembayaran tuntutan dari barang tersebut, diberikan prioritas utama kepada pemegan sita atau agunan, baru menyusul pemegang sita penyesuaian dengan acuan penerapan : a) Apabila hasil penjualan hanya mencukupi untuk melunasi tuntutan pemegang sita jaminan, sepenuhnya jumlah itu menjadi hak pemegang sita atau agunan, tanpa mengurangi pembagian hasil penjualan secara berimbang dalam eksekusi serentak berdasarkan Pasal 202 HIR atau Pasal 220 RBg dan pemegang sita jaminan tidak berkedudukan sebagai kreditur yang mempunyai hak privilege atas barang tersebut; b) Sekiranya hasil penjualan barang melebihi tuntutan pemegang sita atau agunan, maka sisa kelebihan itu menjadi hak pemegang sita penyesuaian.

  3. Selama sita jaminan atau agunan terdahulu belum diangkat atau dicabut, kedudukannya tetap berstatus sebagai pemegang sita penyesuaian.
  4. Apabila sita jaminan atau agunan terdahulu diangkat, maka hak dan kedudukan pemegang sita penyesuaian dengan sendirinya menurut hukum berubah menjadi pemegang sita jaminan.
Terdapat beberapa putusan hakim yang mengikuti yurisprudensi Putusan No. 394 K/SIP/1984 tertanggal 31 Mei 1985, antara lain: Putusan No. 08/Pdt.G/2012/PN.Pkl;  Putusan No. 38/Pdt.G/2012/PN.Pkl; Putusan No. 05/Pdt.G/2013/PN.Pkl; dan Putusan No. 18/Pdt.G/2014/PN.Tgl.

Selasa, 16 April 2024

SIAPA YG BERHAK MEMBERHENTIKAN KENDARAAN DI JALAN?

 

Sering kita melihat seseorang pengendara di jalan tiba-tiba diberhentikan oleh beberapa orang. Ketika kita menelisik lebih dekat lagi, ternyata orang-orang yang memberhentikan pengendara bermotor tersebut adalah debt colector yang mengincar kendaraan-kendaraan yang diduga melanggar perjanjian fidusia.

Pertanyaannya, siapa yang berhak menghentikan kendaraan seseorang di Jalan?

berdasarkan Pasal 265 UU No. 22 tahun 2009 ttg Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan bahwa "Untuk melaksanakan pemeriksaan kendaraan bermotor, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : menghentikan kendaraan bermotor."

Ketika menghentikan kendaraan bermotor, Polantas sudah sepatutnya melakukannya dengan cara santun dan tidak berucap atau bertindak sewenang-wenang, tidak secara kasar. (vide Pasal 15 huruf e Perkapolri 14/2011)

Selain Kepolisian Negara Republik Indonesia, berdasarkan Pasal 266 UU No. 22 tahun 2009, pemeriksaan kendaraan bermotor dapat dilakukan secara insidental oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan wajib didampingi oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Lalu, atas dasar apa seorang Debt Collector memberhentikan pengendara kendaraan bermotor di jalan?

Sebenarnya, dasar hukum debt collector dalam hukum Indonesia belum diatur sepenuhnya, khususnya mengatur mengenai kerja debt collector di lapangan, dalam berkirim pesan, maupun dalam menghampiri debitur atau pemilik hutang. Karena pada prinsipnya debt collector bekerja berdasarkan pemberian kuasa oleh Kreditur.

Pemberian kuasa oleh Kreditur juga harus dikaitkan dengan sebuah Perjanjian Kredit sebagai perjanjian pokoknya antara debitur dan kreditur. Celakanya, hampir di semua perjanjian kredit antara debitur dan kreditur khususnya perjanjian kredit kendaraan bermotor menggunakan perjanjian baku. Perjanjian Baku ini jelas-jelas dilarang menurut UU Perlindungan Konsumen dan UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. (hal. 439)

MK melalui putusan No. 18/PUU-XVII/2019 dan putusan No. 2/PUU-XIX/2021, berharap terjadi keseragaman pemahaman terkait eksekusi jaminan fidusia pada umumnya dan khususnya penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah. Point penting dari putusan MK tersebut, adalah : 

1. adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji. upaya hukum disini adalah mengajukan suatu gugatan secara perdata mengenai cidera janji atau wanprestasi.

2. terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Walaupun telah ada putusan MK sebagaimana tersebut diatas, namun di lapangan terdapat perbedaan pendapat terkait teknis pelaksanaannya. Akan tetapi, lebih baik hukum dibuat jika tidak maka yang terbuat akan mempunyai kekuatan yang tidak terbatas sebagaimana adagium hukum "Inde datae leges be fortior omnia posset". 

Dari keseluruhan uraian diatas, menjawab pertanyaan apakah seorang Debt Collector boleh memberhentikan pengendara kendaraan bermotor di jalan?

jawabnya adalah tidak boleh. Karena tidak ada dasar hukum yang mengatur terkait hal tersebut.

Jumat, 22 Maret 2024

Pasal 14 & Pasal 15 UU No. 1/1946 dan Pasal 310 KUHP Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat



 Pada tanggal 27 Juli 2023 yang lalu, Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanti, YLBHI, AJI, mengajukan pengujian Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1/1946, Pasal 310 ayat (1) KUHP, dan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU No. 19/2016 ke Mahkamah Konstitusi. Hampir kurang lebih setengah tahun lamanya, persidangan perkara tersebut berlangsung, akhirnya pada tanggal 21 Maret 2024 Mahkamah Konstitusi memutus perkara dengan registrasi No.  78/PUU-XXI/2023.

Sebelum perkara ini diajukan, ternyata sudah ada beberapa perkara yang diajukan sebelumnya, yaitu No. 14/PUU-VI/2008, No. 50/PUU-VI/2008, No. 2/PUU-VII/2009, No. 1/PUU-IX/2011, No. 1/PUU-XIII/2015, No. 74/PUU-XIV/2016, dan No. 33/PUU-XVIII/2020. 

Berdasarkan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan MK 2/2021, terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undangg yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali. Namun, setelah dicermati dengan seksama, permohonan dari Haris Azhar dkk ternyata dasar pengujian yang digunakan berbeda yaitu Pasal 27 ayat (3), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), ayat (5), dan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.  Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan Haris Azhar dkk dengan permohonan-permohonan yang telah diputus oleh MK sebelumnya, antara lain, yang membedakan karena dalam perkara a quo pada pokoknya Haris Azhar dkk menguraikan mengenai pembatasan kebebasan untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan serta mengolah dan menyampaikan informasi, sehingga pasal yang diuji menurut Haris Azhar dkk secara bersyarat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara dalam permohonan sebelumnya yakni antara lain permohonan Nomor 33/PUUXVIII/2020, Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian yakni Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Begitupula dengan permohonan Nomor 14/PUU-VI/2008, Pemohon pada pokoknya hanya mendalilkan sanksi pidana dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP bertentangan dengan kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, mengeluarkan pendapat dan berkomunikasi. Dengan demikian, menurut Mahkamah, terdapat perbedaan dasar pengujian dan alasan yang digunakan dalam permohonan Haris Azhar dkk dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana ketentuan Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 PMK 2/2021, sehingga permohonan Haris Azhar dkk dapat diajukan kembali.

Dalam pertimbangannya, MK menilai adanya sifat "ambiguitas" berkaitan dengan unsur "berita atau pemberitahuan bohong" dan "kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berlebihan" yang terdapat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, yang dikarenakan sulitnya menentukan ukuran atau parameter akan “kebenaran“ sesuatu hal yang disampaikan oleh masyarakat yang disebabkan adanya perbedaan ukuran yang dipergunakan untuk menjadi dasar pembenaran akan sesuatu hal yang disampaikan tersebut. Adanya ketidakjelasan ukuran atau parameter demikian dapat menjadi benih atau embrio bahwa seseorang yang menyampaikan sesuatu hal tersebut telah melakukan perbuatan yang berkaitan dengan penyampaian berita atau pemberitahuan bohong. Terlebih, jika seseorang akan menyampaikan pendapat atau pikiran, penilaian akan “kebenaran” dan “kabar yang berkelebihan” atas hal yang disampaikan sangat tergantung penilaian oleh subjek hukum yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, misalnya dari sudut pandang nilai-nilai agama, budaya dan sosial. Oleh karena itu, apabila ukuran atau parameter dalam mengeluarkan pendapat ataupun pikiran yang hanya memperbolehkan menyampaikan sesuatu yang dianggap “benar” saja (tidak bohong) dan tidak berkelebihan yang tidak jelas ukuran atau parameternya baik hal tersebut dilakukan di tempat umum maupun di ranah pribadi, maka hal demikian justru dapat menimbulkan pembatasan terhadap hak setiap orang untuk berkreativitas dalam berpikir guna menemukan kebenaran itu sendiri. Dengan demikian, masyarakat tidak lagi memiliki kebebasan untuk berpendapat sebagai bentuk partisipasi publik dalam kehidupan berdemokrasi, karena pada hakikatnya keputusan demokratis yang diambil oleh negara membutuhkan pendapat dan informasi dari warga negara. Oleh karena itu, negara tidak boleh mengurangi kebebasan berpendapat dengan ketentuan atau syarat yang bersifat absolut bahwa yang disampaikan tersebut adalah sesuatu yang benar atau tidak bohong. Artinya, negara memberikan ruang kepada warga negara untuk mengaktualisasikan dirinya secara bebas dalam memberikan pendapatnya atau menyumbangkan pikirannya kepada negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.

Dengan demikian unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 menurut Mahkamah merupakan norma yang mengandung pembatasan untuk mengeluarkan pendapat secara merdeka di ruang publik yang berpotensi dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk memidana pelaku yang melakukan perbuatan menyebarkan berita bohong tanpa sungguh-sungguh mengidentifikasi perbuatan pelaku merupakan bentuk kesengajaan dalam perspektif memberikan masukan atau kritik yang bersifat konstruktif yang seharusnya menjadi tugas negara untuk mempertimbangkan hal tersebut sebagai bentuk kebebasan menyampaikan pendapat atau kebebasan berekspresi, bukan justru yang ditekankan adalah penilaian terhadap adanya “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan” dan menindak pelakunya untuk dikriminalisasi. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan” yang termuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 dapat menjadi pemicu terhadap sifat norma pasal-pasal a quo menjadi “pasal karet” (mulur mungkret) yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum. Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud “pasal karet” adalah pasal dalam undang-undang yang tidak jelas tolok ukurnya. Terlebih, dalam perkembangan teknologi informasi seperti saat ini yang memudahkan masyarakat dalam mengakses jaringan teknologi informasi, di mana masyarakat dapat memperoleh informasi dengan mudah dan cepat yang acapkali tanpa diketahui apakah berita yang diperoleh adalah berita bohong atau berita benar dan berita yang berkelebihan, sehingga berita dimaksud tersebar dengan cepat kepada masyarakat luas yang hal demikian dapat berakibat dikenakannya sanksi pidana kepada pelaku dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut. 

Selanjutnya berkenaan dengan unsur “onar atau keonaran” yang termuat dalam Pasal 14 UU 1/1946 jika dicermati pada bagian Penjelasannya, keonaran diartikan lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Dari unsur “onar atau keonaran” yang termuat dalam Pasal 14 UU 1/1946 dan Penjelasannya, menurut Mahkamah jika dicermati terdapat ketidakjelasan terkait ukuran atau paramater yang menjadi batas bahaya. Artinya, apakah keonaran tersebut juga dapat diartikan sebagai kerusuhan yang membahayakan negara. Dalam KBBI, kata dasar keonaran adalah onar, yang memiliki beberapa arti, yakni kegemparan, kerusuhan, dan keributan. Oleh karena itu, dari telaahan makna kata onar atau keonaran dalam KBBI dimaksud, makna kata keonaran adalah bersifat tidak tunggal. Oleh karena itu, penggunaan kata keonaran dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 berpotensi menimbulkan multitafsir, karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda, demikian pula akibat yang ditimbulkan. Dengan demikian, terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat dengan tindak pidana. Di samping itu, jika hal ini dikaitkan dengan hak kebebasan untuk berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945, meskipun sesungguhnya bertujuan memberikan masukan atau kritik kepada penguasa sekalipun, hak-hak tersebut akan terancam aktualisasinya. Sebab, yang dapat atau mungkin terjadi adalah justru penilaian yang bersifat subjektif dan berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan. Terlebih, dengan tidak adanya ketidakjelasan makna ”keonaran” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut, seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada, sehingga hal tersebut menyebabkan masyarakat menjadi tidak dapat secara bebas mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945, yaitu hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Selain itu, unsur ”onar atau keonaran” yang termuat dalam Pasal 14 UU 1/1946, menurut Mahkamah sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi yang saat ini berkembang dengan pesat, di mana masyarakat sudah memiliki akses yang luas dan mudah terhadap informasi melalui berbagai media, khususnya media sosial. Sehingga dinamika yang terjadi dalam mengeluarkan pendapat dan kritik berkenaan dengan kebijakan pemerintah di ruang publik, hal tersebut sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari partisipasi publik yang bukan serta merta dapat dianggap sebagai unsur yang menjadi penyebab keonaran dan dapat dikenakan tindakan oleh aparat penegak hukum. Dengan kata lain, jika ada seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan kepada masyarakat melalui media apapun meskipun berita atau pemberitahuan tersebut masih diragukan kebenarannya, kemudian berita atau pemberitahuan tersebut menimbulkan diskursus di ruang publik, maka seharusnya diskusi tersebut tidaklah serta merta merupakan bentuk keonaran di masyarakat yang langsung dapat diancam dengan hukuman pidana. 

Berkenaan dengan unsur “kabar yang tidak pasti”, atau “kabar yang berkelebihan” atau “yang tidak lengkap” yang terdapat dalam Pasal 15 UU 1/1946, menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 15 UU 1/1946 pada pokoknya menjelaskan berkenaan dengan Pasal ini mengenai "kabar angin" (kabar yang tidak pasti) dan kabar yang disiarkan dengan tambahan atau dikurangi. Dengan memerhatikan dan mencermati kandungan yang terdapat dalam Pasal 15 UU 1/1946 beserta Penjelasannya, menurut Mahkamah unsur “kabar tidak lengkap atau berkelebihan” adalah sulit ditentukan batasan atau parameternya, karena unsur “kabar tidak lengkap atau berkelebihan” dapat dikatakan sebagai data/informasi yang tidak valid dan tidak reliable atau data yang validitas dan reliabilitasnya rendah, sehingga Pasal 15 UU 1/1946 hampir dapat dipastikan sama dengan pemaknaan unsur “pemberitahuan bohong” sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU 1/1946. Di samping itu, berkaitan dengan unsur “kabar yang berkelebihan” sebagaimana telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum sebelumnya, oleh karena dengan adanya pengulangan penerapan unsur “pemberitahuan bohong” yang esensinya sebenarnya sama antara unsur “kabar yang berkelebihan” dengan unsur “pemberitahuan bohong” hal tersebut mengakibatkan adanya tumpang tindih (overlapping) dalam pengaturan norma Pasal 15 UU 1/1946 yang dapat menjadikan norma dimaksud mengandung sifat ambigu. Terlebih, Penjelasan pasal a quo tidak menguraikan secara jelas gradasi atau tingkat keakuratan yang dimaksud sehingga hal ini bertentangan dengan asas yang berlaku dalam perumusan norma hukum pidana, yaitu harus dibuat secara tertulis (lex scripta), jelas (lex certa), dan tegas tanpa ada analogi (lex stricta). Dengan demikian, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum Mahkamah terkait dengan unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dalam Pasal 14 UU 1/1946 mutatis mutandis menjadi pertimbangan hukum Mahkamah terkait dengan pertimbangan unsur “kabar yang tidak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” dalam Pasal 15 UU 1/1946. 

Menurut Mahkamah, dengan adanya rumusan norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 yang luas dan tidak jelas sehingga dapat diartikan secara tidak terbatas dan beragam, telah menyebabkan Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara. Dengan demikian, dalil Haris Azhar dkk berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 adalah beralasan menurut hukum.

Terkait inkonstitusionalitas norma Pasal 310 ayat (1) KUHP yang menurut Haris Azhar dkk pada pokoknya Pasal a quo merupakan norma sangat subyektif dan tidak proporsional karena tidak terdapat batasan-batasan yang jelas mengenai ukuran objektif terkait dengan pencemaran kehormatan atau nama baik yang dapat dipidana, sehingga bertentangan dengan kepastian hukum yang adil. Terhadap dalil  Haris Azhar dkk tersebut, MK mengutip pertimbangan dalam putusan terdahulu yaitu putusan No. 14/PUU-VI/2008 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 15 Agustus 2008. Setelah MK mencermati pertimbangan terdahulu berkenaan dengan Pasal 310 ayat (1) KUHP telah diakomodir di dalam Pasal 433 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut UU 1/2023).

 Setelah dicermati materi muatan dari ketentuan Pasal 433 UU 1/2023, menurut Mahkamah, terdapat perbedaan antara ketentuan norma dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP dengan norma Pasal 433 UU 1/2023 yakni dalam Pasal 433 UU 1/2023 terdapat penegasan pelaku melakukan perbuatan pencemaran mencakup perbuatan “dengan lisan” dimana unsur tersebut tidak diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP. Oleh karena itu, tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas Pasal 433 UU 1/2023 yang baru mempunyai kekuatan mengikat setelah tiga tahun sejak diundangkan (2 Januari 2026), maka penegasan berkenaan dengan unsur perbuatan “dengan lisan” yang terdapat dalam Pasal 433 UU 1/2023 bisa diadopsi atau diakomodir guna kepastian hukum dalam penerapan ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP. Dengan demikian, norma Pasal 310 ayat (1) KUHP dimaksud dapat memberikan kepastian hukum dan mempunyai jangkauan kesetaraan yang dapat mengurangi potensi adanya perbedaan perlakuan atau diskriminasi terhadap addresat norm atas ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP, sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan ambiguitas. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat, sebagaimana yang selengkapnya akan dinyatakan dalam amar putusan perkara a quo. Namun, oleh karena kesimpulan Mahkamah a quo bukan sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, oleh karena itu dalil para Pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 310 ayat (1) KUHP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. 

Jumat, 22 Desember 2023

MENJADI KONSUMEN CERDAS (beberapa hal yang perlu diketahui ketika menjadi debitor fidusia)



Dalam aline keempat penjelasan umum UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, menyebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.

Sebagai konsumen kita harus mengetahui seluruh Hak konsumen yang ada dalam Pasal 4, yaitu :

1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 

2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 

3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan jaminan barang dan/atau jasa; 

4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 

6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 

7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 

8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 

9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban Pelaku Usaha di Pasal 5 adalah hak bagi konsumen. apa saja kewajiban pelaku usaha yang menjadi hak-hak konsumen tersebut, antara lain :

1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 

2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 

3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 

4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 

5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 

6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 

7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Semua hak-hak konsumen diatas diatur dalam UU No. 8 thn 1999 ttg Perlindungan Konsumen. 

Fidusia mempunyai arti adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Sedangkan, Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. 

Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok, dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia.

Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris, menggunakan bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia.

Lalu, kapan Akta Jaminan Fidusia itu dibuat?

dalam PP 21 tahun 2015 tidak diatur secara spesifik. Pasal 4 hanya mengatur permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia diajukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh hari) terhitung sejak tanggal pembuatan akta Jaminan Fidusia. 

Ciri Akta Notaris salah satunya adalah bahwa akta harus dibuat, dibacakan, dan ditandatangani dihadapan notaris dengan dihadiri kedua belah pihak. 

Biasanya, dan ini sudah lazim serta menjadi kebiasaan, dalam perjanjian pokok antara pelaku usaha (leasing) dan konsumen ada satu pasal yang memberikan kuasa/kewenangan kepada leasing/pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak (misal : menarik kendaraan bermotor, menandatangani akta jaminan fidusia). Klausula ini dinamakan eksonerasi atau klausula baku.

Klausula baku diatur dalam Pasal  18 UU tentang Perlindungan Konsumen. Bunyi Pasal 18, sebagai berikut :

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; 

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; 

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; 

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; 

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; 

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. 

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. 

(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

Untuk dapat dinyatakan batal demi hukum, maka langkah yang dapat ditempuh oleh konsumen adalah mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri setempat. Konsumen dapat mendalilkan bahwa Akta Jaminan Fidusia yang dibuat dihadapan Notaris tidak sah karena tidak dihadiri langsung oleh Konsumen tersebut dan proses penandatanganan Akta Jaminan Fidusia yang dilakukan oleh leasing/pelaku usaha yang mengatasnamakan Konsumen bertentangan dengan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen.

Kesimpulannya adalah eksekusi benda bergerak dengan jaminan fidusia hanya dapat dilakukan hanya dengan kekuatan yang ada dalam Sertifikat Jaminan Fidusia yang ada irah2 "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".

Namun, apabila dalam proses pembuatan Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut tidak berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku, maka leasing/pelaku usaha tidak dapat melakukan eksekusi tersebut.





Minggu, 05 November 2023

Pengunduran Anggota Parpol, Kok Jadi Polemik?


Di dalam Pasal 16 UU No. 2  tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 2 tahun 2011 tentang Parta Politik, mengatur tentang pemberhentian keanggotaan seseorang dari partai politik, antara lain  karna : meninggal dunia; mengundurkan diri secara tertulis; menjadi anggota partai politik lain; atau melanggar AD dan ART.

Fenomena saat ini, ada kader dari PDI P yang diusulkan menjadi Bacawapres. Partai pengusul itu bukan dari PDI P melainkan dari partai lain yaitu partai Golkar. Sedangkan PDI P sudah mempunyai pasangan bacapres dan bacawapres sendiri. Hal ini yang kemudian menjadi polemik dan masing-masing pihak menunggu agar tidak terjadi playing fictim yang akan dimainkan pihak lawan.

Berita terakhir yang penulis kutip dari kompas.com, mengabarkan bahwa Gibran telah menerima surat dari Ketua DPC PDI-P Solo perihal permintaan untuk mengembalikan KTA PDI-P dan membuat surat pengunduran diri Gibran dari Kader PDI-P. Ketika ditanya terkait surat tersebut, Gibran menjawab akan menindaklanjutinya.

Lalu, apakah seandainya Gibran belum membuat surat pengunduran diri (vide Pasal 16), masih sah menjadi kader PDI-P sedangkan Gibran sendiri diusulkan Partai Golkar menjadi Bacawapres dari Prabowo Subiyanto dan PDI-P juga sudah mengusulkan bacapres -bacawapres yaitu Ganjar – Mahfud?

Sebelum kita menjawabnya, marilah kita melihat ketentuan Paragraf 1 Tata Cara Penentuan Pasangan Calon Pasal 221 – Pasal 225 UU No 7 tahun 2017 ttg Pemilihan Umum.

Pasal 223 ayat (1) mengatur mengenai penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan.

Gibran saat pengusulannya menjadi Bacawapres oleh Partai Golkar, masih sah menjadi kader PDI-P. Tentu hal ini akan bertentangan dengan mekanisme internal partai politik dari PDI-P sebagaimana bunyi Pasal 223 ayat (1)  di atas. Mekanisme internal Partai Politik di dalam Pasal 16 UU No. 2  tahun 2008 dapat diartikan sebagai ketentuan AD dan ART.

Seandainya antara PDI-P dan partai Golkar melakukan kesepakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 223 ayat (2) yang bersama-sama mengusulkan Gibran sebagai bacawapresnya, maka tidak akan menjadi polemik seperti yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Faktanya PDI-P sudah punya calon sendiri yaitu Ganjar – Mahfud dan partai Golkar bersama Koalisi Indonesia Maju juga sudah punya calon sendiri yaitu Prabowo – Gibran.

Jadi, walaupun Gibran belum mengundurkan diri pasca pengiriman surat oleh DPC Solo, Gibran tetap bisa diberhentikan dari keanggotaan PDI-P berdasarkan alasan melanggar AD dan ART.

Jumat, 03 November 2023

MEMAHAMI PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Beberapa minggu belakangan ini, masyarakat hukum di Indonesia disibukkan dengan berbagai argumen terkait dengan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut mengabulkan sebagian : “Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”;

Pasca putusan tersebut dibacakan, tidak kurang dari 12 permohonan terkait dugaan pelanggaran etik Hakim Konstitusi ke Majelis Kehormatan Mahkama Konstitusi (MK MK). Di samping itu, 16 Akademisi Hukum Tata negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) melaporkan Ketua MK karena dugaan melakukan pelanggaran etik dan perilaku hakim konstitusi.

Tulisan kali ini lebih difokuskan pada proses pengambilan keputusan di Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Putusan MK yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Putusan MK wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.

Pengambilan putusan secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.

Terkadang, dalam putusan itu ada perbedaan pendapat. Yang dimaksud dengan pendapat hakim yang berbeda adalah pendapat hakim yang tidak mengikuti kesepakatan mayoritas hakim yang menyusun keseluruhan isi putusan itu.

Pendapat hakim yang berbeda dari pendapat mayoritas yang menentukan putusan dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :

1.      1.     Dissenting Opinion.

     Adalah pendapat yang berbeda secara substantif sehingga menghasilkan amar yang berbeda.       

2.       2.   Concurrent Opinion / Consenting Opinion.

     Adalah pendapat yang kesimpulan akhirnya sama, tetapi argumen yang diajukan berbeda

Dalam bahasa Indonesia, pendapat berbeda yang bukan dissenting opinion yang demikian itu juga diterjemahkan sebagai pendapat berbeda, dan ditempatkan pada posisi yang sama dengan dissenting opinion. (vide putusan perkara nomor 018/PUU-I/2003)

Apabila dalam musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dicapai mufakat bulat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila pengambilan keputusan dengan suara terbanyak tidak dapat dilaksanakan, maka suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.

Jadi, dengan dianutnya prinsip suara ketua menentukan seperti dimaksud di atas, maka sekiranya  pun Pasal 28 ayat (1) ditafsirkan mencakup pula ketentuan mengenai kuorum dalam forum rapat permusyawaratan hakim, maka keharusan untuk dihadiri oleh jumlah hakim yang ganjil tentunya juga tidak diperlukan lagi. Untuk apa mengharuskan jumlah hakim yang hadir ganjil atau genap, karena dengan ketentuan suara ketua menentukan tersebut berarti meskipun jumlah hakim yang hadir genap, mekanisme pengambilan keputusan akhir tidak akan terhambat karenanya.

Selasa, 31 Oktober 2023

Memakzulkan Presiden?

 


Mengutip laman id.quora.com, pemimpin negara yang pertama kali tercatat dimakzulkan adalah presiden Amerika Serikat, Andrew Johnson, yang dimakzulkan pada tahun 1868. Pihak DPR Amerika Serikat kala itu mengeluarkan 11 artikel dakwaan pemakzulan terhadap Presiden Andrew Johnson, Sembilan di antaranya mengutip tentang pencopotan Sekretaris Perang Edwin M. Stanton, serta pelanggaran terhadap Tenure of Act (adalah hukum federal Amerika Serikat yang berlaku dari 1867 hingga 1887, yang mana dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan presiden untuk memberhentikan pemegang jabatan tertentu tanpa persetujuan Senat).

Setidaknya dalam 7 tahun terakhir, sudah terjadi beberapa pemakzulan terhadap kepala negara di dunia, diantaranya :

1.         Brazil, pemakzulan Dilma Rousseff pada tanggal 17 April 2016.

2.         Korea Selatan, pemakzulan presiden Park Geun-hye pada tanggal 10 Maret 2017.

3.      Peru, dua kali melakukan pemakzulan presiden Pedro Pablo Kuczynski pada tahun 2017 dan 2018. Presiden Peru selanjutnya adalah Martin Vizcarra pada tanggal 9 Nopember 2020.

4.         Amerika Serikat, pemakzulan dua kali presiden Donald Trump dan keduanya gagal.

Bagaimana yang terjadi di Indonesia?

Pemakzulan presiden di Indonesia secara rinci baru ada setelah amandemen UUD 1945. Sebelumnya, proses pemakzulan presiden lebih mengedepankan proses politik dibandingkan dengan proses hukum. Hal ini dapat dilihat bagaimana proses pemakzulan presiden Soekarno dan presiden Abdurrahman Wahid yang tidak ada proses peradilan sama sekali.

Pemakzulan sendiri merupakan bagian dari fungsi pengawasan tertinggi yang dimiliki oleh Lembaga perwakilan sebagai salah satu bentuk proses checks and balances.

UUD 1945 setelah amandemen, mengatur tentang pemakzulan pada Pasal 7A dan Pasal 7B.

Di Pasal 7A, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, jika terbukti :

1.         Telah melakukan pelangggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara;

2.         Korupsi;

3.         Penyuapan;

4.         Tindak pidana berat lainnya;

5.         Perbuatan tercela; atau

6.         apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 tahun 2009, disebutkan mengenai kualifikasi pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Kualifikasi tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Sedangkan untuk kualifikasi tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD 1945 dan Undang-Undang yang terkait.

Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan melalui usul Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terlebih dahulu DPR mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran sebagaiman disebut dalam Pasal 7A tersebut.

DPR hanya dapat mengajukan permintaan ke Mahkamah Konstitusi apabila mendapat dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.

Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama 90 (Sembilan puluh) hari setelah permintaan DPR diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

Apabila terbukti Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum sebagaimana Pasal 7A, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.

MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul tersebut.

Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

 

YANG DAPAT DILAKUKAN KREDITUR APABILA ASET DEBITUR SUDAH DIJAMINKAN KE BANK

Hukum perdata mengenal tiga jenis kreditur, yaitu : Kreditur Separatis; Kreditur Preferen; dan Kreditur Konkuren. Kreditur Separatis adala...