Beberapa minggu belakangan ini, masyarakat hukum di Indonesia disibukkan dengan berbagai argumen terkait dengan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut mengabulkan sebagian : “Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”;
Pasca putusan tersebut dibacakan, tidak kurang
dari 12 permohonan terkait dugaan pelanggaran etik Hakim Konstitusi ke Majelis
Kehormatan Mahkama Konstitusi (MK MK). Di samping itu, 16 Akademisi Hukum Tata
negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) melaporkan Ketua MK karena
dugaan melakukan pelanggaran etik dan perilaku hakim konstitusi.
Tulisan kali ini lebih difokuskan pada proses
pengambilan keputusan di Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan
UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan
keyakinan hakim. Putusan MK yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Putusan MK wajib memuat fakta yang terungkap
dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.
Pengambilan putusan secara musyawarah untuk
mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang. Dalam
sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan
atau pendapat tertulis terhadap permohonan.
Terkadang, dalam putusan itu ada perbedaan
pendapat. Yang dimaksud dengan pendapat hakim yang berbeda adalah pendapat
hakim yang tidak mengikuti kesepakatan mayoritas hakim yang menyusun keseluruhan
isi putusan itu.
Pendapat hakim yang berbeda dari pendapat
mayoritas yang menentukan putusan dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1. 1. Dissenting Opinion.
Adalah pendapat yang berbeda secara
substantif sehingga menghasilkan amar yang berbeda.
2. 2. Concurrent Opinion / Consenting
Opinion.
Adalah pendapat yang kesimpulan akhirnya sama,
tetapi argumen yang diajukan berbeda
Dalam bahasa Indonesia, pendapat berbeda yang
bukan dissenting opinion yang demikian itu juga diterjemahkan sebagai
pendapat berbeda, dan ditempatkan pada posisi yang sama dengan dissenting
opinion. (vide putusan perkara nomor 018/PUU-I/2003)
Apabila dalam musyawarah sidang pleno setelah
diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dicapai mufakat bulat, maka putusan
diambil dengan suara terbanyak. Apabila pengambilan keputusan dengan suara
terbanyak tidak dapat dilaksanakan, maka suara terakhir ketua sidang pleno
hakim konstitusi menentukan.
Jadi, dengan dianutnya prinsip suara ketua
menentukan seperti dimaksud di atas, maka sekiranya pun Pasal 28 ayat (1) ditafsirkan mencakup
pula ketentuan mengenai kuorum dalam forum rapat permusyawaratan hakim, maka
keharusan untuk dihadiri oleh jumlah hakim yang ganjil tentunya juga tidak
diperlukan lagi. Untuk apa mengharuskan jumlah hakim yang hadir ganjil atau
genap, karena dengan ketentuan suara ketua menentukan tersebut berarti meskipun
jumlah hakim yang hadir genap, mekanisme pengambilan keputusan akhir tidak akan
terhambat karenanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar