Minggu, 05 November 2023

Pengunduran Anggota Parpol, Kok Jadi Polemik?


Di dalam Pasal 16 UU No. 2  tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 2 tahun 2011 tentang Parta Politik, mengatur tentang pemberhentian keanggotaan seseorang dari partai politik, antara lain  karna : meninggal dunia; mengundurkan diri secara tertulis; menjadi anggota partai politik lain; atau melanggar AD dan ART.

Fenomena saat ini, ada kader dari PDI P yang diusulkan menjadi Bacawapres. Partai pengusul itu bukan dari PDI P melainkan dari partai lain yaitu partai Golkar. Sedangkan PDI P sudah mempunyai pasangan bacapres dan bacawapres sendiri. Hal ini yang kemudian menjadi polemik dan masing-masing pihak menunggu agar tidak terjadi playing fictim yang akan dimainkan pihak lawan.

Berita terakhir yang penulis kutip dari kompas.com, mengabarkan bahwa Gibran telah menerima surat dari Ketua DPC PDI-P Solo perihal permintaan untuk mengembalikan KTA PDI-P dan membuat surat pengunduran diri Gibran dari Kader PDI-P. Ketika ditanya terkait surat tersebut, Gibran menjawab akan menindaklanjutinya.

Lalu, apakah seandainya Gibran belum membuat surat pengunduran diri (vide Pasal 16), masih sah menjadi kader PDI-P sedangkan Gibran sendiri diusulkan Partai Golkar menjadi Bacawapres dari Prabowo Subiyanto dan PDI-P juga sudah mengusulkan bacapres -bacawapres yaitu Ganjar – Mahfud?

Sebelum kita menjawabnya, marilah kita melihat ketentuan Paragraf 1 Tata Cara Penentuan Pasangan Calon Pasal 221 – Pasal 225 UU No 7 tahun 2017 ttg Pemilihan Umum.

Pasal 223 ayat (1) mengatur mengenai penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan.

Gibran saat pengusulannya menjadi Bacawapres oleh Partai Golkar, masih sah menjadi kader PDI-P. Tentu hal ini akan bertentangan dengan mekanisme internal partai politik dari PDI-P sebagaimana bunyi Pasal 223 ayat (1)  di atas. Mekanisme internal Partai Politik di dalam Pasal 16 UU No. 2  tahun 2008 dapat diartikan sebagai ketentuan AD dan ART.

Seandainya antara PDI-P dan partai Golkar melakukan kesepakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 223 ayat (2) yang bersama-sama mengusulkan Gibran sebagai bacawapresnya, maka tidak akan menjadi polemik seperti yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Faktanya PDI-P sudah punya calon sendiri yaitu Ganjar – Mahfud dan partai Golkar bersama Koalisi Indonesia Maju juga sudah punya calon sendiri yaitu Prabowo – Gibran.

Jadi, walaupun Gibran belum mengundurkan diri pasca pengiriman surat oleh DPC Solo, Gibran tetap bisa diberhentikan dari keanggotaan PDI-P berdasarkan alasan melanggar AD dan ART.

Jumat, 03 November 2023

MEMAHAMI PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Beberapa minggu belakangan ini, masyarakat hukum di Indonesia disibukkan dengan berbagai argumen terkait dengan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut mengabulkan sebagian : “Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”;

Pasca putusan tersebut dibacakan, tidak kurang dari 12 permohonan terkait dugaan pelanggaran etik Hakim Konstitusi ke Majelis Kehormatan Mahkama Konstitusi (MK MK). Di samping itu, 16 Akademisi Hukum Tata negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) melaporkan Ketua MK karena dugaan melakukan pelanggaran etik dan perilaku hakim konstitusi.

Tulisan kali ini lebih difokuskan pada proses pengambilan keputusan di Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Putusan MK yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Putusan MK wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.

Pengambilan putusan secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.

Terkadang, dalam putusan itu ada perbedaan pendapat. Yang dimaksud dengan pendapat hakim yang berbeda adalah pendapat hakim yang tidak mengikuti kesepakatan mayoritas hakim yang menyusun keseluruhan isi putusan itu.

Pendapat hakim yang berbeda dari pendapat mayoritas yang menentukan putusan dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :

1.      1.     Dissenting Opinion.

     Adalah pendapat yang berbeda secara substantif sehingga menghasilkan amar yang berbeda.       

2.       2.   Concurrent Opinion / Consenting Opinion.

     Adalah pendapat yang kesimpulan akhirnya sama, tetapi argumen yang diajukan berbeda

Dalam bahasa Indonesia, pendapat berbeda yang bukan dissenting opinion yang demikian itu juga diterjemahkan sebagai pendapat berbeda, dan ditempatkan pada posisi yang sama dengan dissenting opinion. (vide putusan perkara nomor 018/PUU-I/2003)

Apabila dalam musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dicapai mufakat bulat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila pengambilan keputusan dengan suara terbanyak tidak dapat dilaksanakan, maka suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.

Jadi, dengan dianutnya prinsip suara ketua menentukan seperti dimaksud di atas, maka sekiranya  pun Pasal 28 ayat (1) ditafsirkan mencakup pula ketentuan mengenai kuorum dalam forum rapat permusyawaratan hakim, maka keharusan untuk dihadiri oleh jumlah hakim yang ganjil tentunya juga tidak diperlukan lagi. Untuk apa mengharuskan jumlah hakim yang hadir ganjil atau genap, karena dengan ketentuan suara ketua menentukan tersebut berarti meskipun jumlah hakim yang hadir genap, mekanisme pengambilan keputusan akhir tidak akan terhambat karenanya.

YANG DAPAT DILAKUKAN KREDITUR APABILA ASET DEBITUR SUDAH DIJAMINKAN KE BANK

Hukum perdata mengenal tiga jenis kreditur, yaitu : Kreditur Separatis; Kreditur Preferen; dan Kreditur Konkuren. Kreditur Separatis adala...